ADA anggapan di sebagian kalangan Islam bahwa melakukan penafsiran kembali atas sejumlah doktrin, ajaran, atau norma dalam Islam dianggap sebagai penghinaan atas agama itu. Menafsir adalah tindakan penghinaan. Begitu juga, menafsirkan satu-dua ayat atau hadis dengan cara yang tidak sesuai dengan pandangan ortodoks, yakni pandangan yang dianut oleh sebagian besar umat, juga dipandang sebagai semacam sacrilege, atau penghinaan atas agama dan kitab suci.
Apakah anggapan semacam ini benar? Jawaban saya sederhana: sama sekali tidak benar. Menafsirkan ajaran Islam dengan sudut pandang yang berbeda dengan pendapat umum bukanlah penghinaan atas Islam, agama atau kitab suci. Sejak awal, teks Quran selalu ditafsirkan dengan berbagai sudut pandang oleh ulama dan sarjana Islam. Metode penafsiran Quran juga berkembang terus sesuai dengan tahap-tahap perkembangan peradaban Islam. Pada periode awal perkembangan Islam, belum kita jumpai sejumlah disiplin keilmuan yang kompleks dan bercabang-cabang seperti kita lihat pada perkembangan Islam belakangan, terutama saat peradaban Islam mencapai puncak kreativitas dan kemajuannya pada abad ke-9 hingga ke-12 Masehi. Karena itu, tafsiran atas Quran pada periode awal itu juga sangat sederhana.
Tetapi lihat apa yang terjadi belakangan, ketika ilmu-ilmu dalam Islam berkembang luas dan menjadi canggih. Pada tahap itulah, kita lihat sejumlah model tafsiran atas Quran yang makin canggih dengan pendekatan yang makin beragam. Tafsir yang begitu voluminous (berjilidi-jilid) yang ditulis oleh Fakhr al-Din al-Razi (w. 1209), berjudul Mafatih al-Ghaib (Kunci-Kunci Menuju Dunia Yang Tersembunyi) yang terdiri dari 32 jilid (edisi Dar al-Fikr, Lebanon, 1981), jelas tidak akan pernah lahir pada zaman awal Islam, zaman ketika cabang-cabang ilmu Islam belum berkembang pesat. Tafsir semacam ini lahir setelah cabang-cabang pengetahuan dalam Islam berkembang begitu jauh.
Dalam tafsir ini, al-Razi berusaha menafsirkan Quran dengan memakai seluruh pendekatan yang dihasilkan oleh ilmu-ilmu yang ada pada zamannya. Dalam tafsirnya itu, kita bertemu dengan ayat-ayat Quran yang ditafsirkan oleh al-Razi dengan pendekatan gramatikal (nahw/sharf), teori sastra (balagha), hadis, fiqh (hukum Islam), filsafat, teologi, sejarah, mistik/tasawwuf, astronomi, logika (manthiq), dsb. Tak heran, jika tafsir al-Razi tersebut begitu tebal jumlah halamannya, karena dia mencoba memobilisasi seluruh khazanah intelektual yang ada pada zamannya untuk menafsirkan Quran.
Dengan kata lain, tafsir atas Quran, juga hadis, berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu yang ada dalam masyarakat Islam. Oleh karena itu, tafsiran atas Quran, termasuk tafsiran yang berbeda dengan pandangan ortodoks yang sudah mapan, tidak bisa dipandang sebagai penghinaan atas ajaran Islam.
Jika tafsir terus berkembang, apakah dengan demikian Quran bisa ditafsirkan dengan seenaknya tanpa batas? Ini adalah pertanyaan yang sering saya dengar dari banyak kalangan. Sudah tentu, Quran, sebagaimana kitab suci dalam agama manapun, tidak bisa ditafsirkan dengan “seenaknya”. Setiap tafsir tentu mempunyai batas-batasnya sendiri. Tidak ada tafsir yang bergerak bebas seenaknya, tanpa diikat oleh suatu batas tertentu. Yang menjadi masalah adalah, siapa yang menentukan batas itu, apakah batas tersebut statis atau bergerak/berubah terus, apakah batas-batas itu berkembang sesuai dengan perkembangan piranti intelektual yang ada pada umat manusia atau tidak, dst.
Sebelum dibatasi oleh yang lain-lain, setiap penafsiran, termasuk penafsiran Quran, jelas dibatasi oleh tradisinya sendiri. Quran sudah hadir dalam masyarakat Islam lebih dari 14 abad, waktu yang jelas sangat panjang sekali. Dalam rentang waktu sepanjang itu, berkembang segala corak penafsiran atas Quran yang dipengaruhi, sebagaimana saya katakan tadi, oleh sejumlah cabang-cabang pengetahuan yang ada pada zamannya. Sejarah Quran yang begitu panjang itu jelas melahirkan suatu “tradisi penafsiran” tersendiri. Sebelum diikat dan dibatasi oleh yang lain-lain, saat menafsirkan Quran, seorang penafsir jelas dibatasi oleh tradisi itu.
Jika anda ingin menjadi seorang “penafsir profesional” dan hendak menafsirkan Quran, maka sudah seharusnya anda membaca segepok tafsir yang pernah dikerjakan oleh para penafsir yang telah mendahului anda, bukan sebagai pakem yang harus diikuti secara harafiah, mentah-mentah, tetapi sebagai semacam rujukan awal, sebagai term of reference. Sama dengan seorang ilmuwan yang bekerja pada bidang manapun: dia akan diikat oleh tradisi keilmuan dalam disiplin di mana dia bekerja. Seorang fisikawan yang bekerja dalam fisika murni, misalnya, jelas tak bisa mengabaikan pekerjaan yang sudah dilakukan oleh para ilmuwan sebelumnya. Dia tak bisa mengabaikan nama-nama besar seperti Isaac Newton atau Werner Heisenberg, misalnya. Setiap ilmuwan selalu bersandar pada pundak para raksasa pengetahuan yang datang sebelumnya. Ini adalah kaidah dasa r yang berlaku dalam semua bidang pengetahuan.
Hal serupa juga terjadi pada kegiatan penafsiran Quran. Setiap kegiatan penafsiran Quran jelas dibatasi oleh tradisi penafsiran yang terbentuk selama ratusan tahun. Seorang penafsir Quran tidak bisa mengabaikan pekerjaan besar yang sudah dilakukan oleh para “raksasa tafsir” sebelumnya seperti al-Tabari, al-Qurtubi, al-Razi, dll. Mereka adalah “the giants in the history of Quranic interpretation”, raksasa-raksasa dalam sejarah penafsiran Quran. Mereka semuanya ambil bagian dalam membentuk apa yang tadi saya sebut sebagai “tradisi penafsiran”. Tradisi inilah yang pertama-tama membatasi setiap kegiatan menafsir.
Tetapi, yang tak boleh kita lupakan adalah bahwa tradisi bukanlah sesuatu yang sifatnya statis atau berhenti. Tradisi adalah entitas yang sifatnya dinamis. Tradisi juga bukan benda yang hadir ujug-ujug. Tradisi adalah sesuatu yang lahir karena ada manusia yang membentuknya. Dengan kata lain, tradisi adalah sesuatu yang dikonstruksi atau dibentuk oleh manusia. Begitu juga tradisi penafsiran Quran: ia bukanlah entitas yang lahir ujug-ujug sekali jadi, tanpa suatu sejarah. Tradisi penafsiran Quran, misalnya, dibentuk dan diciptakan oleh manusia-manusia yang selama ini bekerja dalam lapangan penafsiran. Mereka sering disebut sebagai mufassir, atau dalam bahasa Inggris disebut exegete. Masing-masing mufassir seperti menyumbangkan satu batu bata yang akhirnya membentuk rumah besar yang disebut dengan tradisi penafsiran itu.
Karena tradisi dibentuk dan diciptakan, maka ia bisa juga diubah dan karena itu juga berkembang. Dalam tradisi penafsiran Quran, misalnya, dikenal semacam syarat-syarat kompetensi tertentu untuk menafsirkan Quran, antara lain harus menguasai bahasa Arab. Syarat ini bukan syarat “suci” yang tidak bisa dibantah. Sebagian besar kalangan tentu setuju dengan syarat ini; tetapi sebagian kalangan yang lain tidak menyetujuinya. Karena Quran sudah hadir dalam bentuk terjemahan, maka akses terhadapQuran bukan menjadi monopoli mereka yang mengerti bahasa Arab saja. Mereka yang tidak setuju dengan syarat ini berpandangan bahwa Quran bukanlah kitab suci milik bangsa Arab belaka; sebaliknya ia adalah, mengutip sebuah ayat dalam Quran, “hudan li al-nas”, petunjuk bagi manusia, siapa saja, tanpa melihat asal-usul kebangsaan dan suku mereka. Pesan Quran, menurut mereka, bisa dipahami dengan bahasa apa saja, dan karena itu “wewenang menafsir” bukanlah monopoli mereka yang hanya menguasai bahasa itu. Pandangan yang menganggap bahwa wewenang menafsir hanya ada pada mereka yang menguasai bahasa Arab sama saja dengan melakukan “ethnification of the Quran”, yakni menjadikan teks Quran sebagai teks yang melekat dengan etnik tertentu. Ini hanya kasus kecil saja untuk memperlihatkan bahwa dalam tradisi penafsiran Quran itu juga kita jumpai perbedaan tentang syarat-syarat kompetensi untuk menafsir.
Masalah lain yang bisa diangkat ke permukaan, misalnya, adalah: Apakah penafsiran atas Quran hanya menjadi monopoli mereka yang secara formal menyandang gelar ulama atau kiai, yaitu mereka yang telah menjalani “academic training” atau pendidikan ilmiah di bidang ilmu-ilmu agama (al-‘ulum al-diniyyah)? Saya cenderung berpendapat bahwa penafsiran bukanlah monopoli para ulama saja, dengan asumsi bahwa ulama di sini adalah mereka yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu agama. Istilah “ulama” mungkin juga harus diperluas pengertiannya.
Ulama mestinya bukanlah hanya mereka yang ahli di bidang ilmu-ilmu keagamaan saja, tetapi mereka yang memenuhi dua unsur utama: yaitu keahlian (expertise) di bidang-bidang yang relevan dengan keahlian orang bersangkutan, plus etos yang dalam Quran disebut sebagai “khasy-yah” yang sering diterjemahkan sebagai “takut Tuhan”. Saya ingin memaknai istilah khasy-yah ini dalam pengertian yang jauh lebih mendasar: yaitu ilmuwan yang mencari kebenaran berdasarkan norma-norma yang ditentukan oleh disiplin di mana dia bekerja, bukan menundukkan disiplin itu kepada norma dari luar. “Takut Tuhan” saya maknai di sini sebagai kesadaran untuk terus mencari sumber kebenaran, sebab Tuhan, sebagaimana dalam al-asma’ al-husna (nama-nama Tuhan yang indah sebagaimana dikenal dalam tradisi Islam), disebut sebagai al-Haqq, Yang Benar, Sumber Kebenaran. Siapapun yang memenuhi dua kualifikasi ini bisa disebut seabgai seorang ulama. Gelara itu bukanlah milik mereka yang ahli di bidang ilmu-ilmu agama belaka. Ulama adalah kategori jenerik yang artinya adalah “orang yang menguasasi bidang pengetahuan”.
Ringkasnya: tradisi penafsiran memang membatasi seorang penafsir, tetapi tradisi itu sendiri bukanlah benda yang sifatnya statis; sebaliknya, dia berubah, sesuai dengan perubahan piranti pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Dengan perkembangan piranti pengetahuan yang begitu canggih seperti saat ini, sudah semestinya kegiatan penafsiran atas Quran bisa lebih maju lagi dari kondisi yang ada sekarang.
Teks Quran memang tidak bisa disamakan dengan teks-teks “sekuler” lain, seperti teks bacaan pada umumnya. Dia adalah teks yang dipercaya sebagai teks suci oleh umat Islam, dan karena itu penafsiran atas teks semacam ini selalu merupakan tindakan yang sensitif. Hal ini bukan gejala khas dalam Islam, tetapi dalam hampir semua teks suci yang lain. Ada sejumlah rambu-rambu “angker” yang sengaja dibuat oleh “penjaga teks” itu agar kegiatan penafsiran tidak secara sembarangan dikerjakan oleh siapa saja, agar penafsiran tidak membawa pandangan-pandangan yang bertentangan dengan “pandangan ortodoks” yang sudah baku. Anggapan yang saya sebut di awal tulisan ini, yaitu bahwa penafsiran atas kitab suci bisa mengarah kepada sacrilege atau penodaan atas kesucian teks, adalah bagian dari cara penjaga ortodoksi (=pandangan yang dianggap paling benar dalam sebuah agama atau sistem kepeercayaan) untuk melindungi teks suci itu. Ini adalah gejala the politics of interpretation, politik penafsiran, yang biasa terjadi dalam semua tradisi teks suci, termasuk dalam kasus Quran juga. Banyak penafsir yang dianggap melakukan tindakan infidelity atau kekafiran hanya karena melakukan studi atas Quran dan membawa kesimpulan yang tidak sepenuhnya cocok dengan para ulama, penjaga paham ortodoks. Bukankah gejala serupa juga pernah kita lihat pada zaman Orde Baru dulu, di mana penafsiran atas Pancasila hanya bisa dilakukan oleh negara atau oleh para “penafsir negara” yang sudah mendapatkan “restu politik” dari the power that be. Mereka yang secara partikulir melakukan penafsiran atas Pancasila, dan dengan cara yang “liar”, berlawanan dengan ideologi negara, maka yang bersangkutan bisa ditangkap dan dipenjarakan. Keadaan serupa, kurang lebih, kita lihat juga dalam konteks penafsiran teks suci, termasuk Quran.
Kedudukan Quran sebagai teks suci jelas tidak saya sangkal. Yang saya persoalkan adalah “politik penafsiran” yang sengaja diciptakan oleh penjaga paham ortodoks untuk melindungi “kesucian” paham tertentu agar tidak diganggu oleh penafsiran-penfsiran baru yang dianggap “menyimpang”. Sebagaimana kita mengalami demokratisasi politik saat ini, kita juga membutuhkan suatu kondisi penafsiran yang lebih demokratis lagi dalam tubuh umat Islam. Demokratisasi penafsiran bisa ditandai oleh banyak hal. Antara lain: pendekatan tafsir yang kian terbuka pada perkembangan baru dalam teori-teori penafsiran belakangan yang biasa dikenal dengan filsafat hermeneutika. Ketika saya mengatakan “terbuka” terhadap pendekatan baru dari luar, bukan berarti pendekatan baru itu harus dipraktekkan secara mentah-mentah tanpa melalui proses “aklimatisasi” atau penyesuaian dengan tradisi hermeneutik yang ada dalam Quran. Aklimatisasi dan akulturasi dengan tradisi Quran sendiri jelas sangat penting dan merupakan keharusan.
Ciri lain dalam demokratisasi penafsiran: terkikisnya kecenderungan untuk menganggap bahwa tafsir yang berbeda secara mendasar dengan tafsir ortodoks sebagai tafsir sesat. Tradisi menyesatkan tafsir yang berbeda harus digantikan dengan tradisi lain yang lebih demokratis, yaitu dialog antar penafsiran yang berbeda. Sebutan yang pas untuk tafsir yang bertentangan dengan tafsir dominan bukan “tafsir sesat” tetapi “tafsir yang berbeda”. Konsep atau etos yang perlu dikembangkan bukan ethos of deviation, sebaliknya ethos of difference. Yang perlu dikembangkan adalah cara pandang yang melihat tafsir yang tidak sama sebagai tafsir berbeda, bukan tafsir menyimpang.
Hanya dengan cara seperti inilah kita bisa mengembangkan tradisi pemikiran dan kehidupan keagamaan yang sehat di masa mendatang.[]
Apakah anggapan semacam ini benar? Jawaban saya sederhana: sama sekali tidak benar. Menafsirkan ajaran Islam dengan sudut pandang yang berbeda dengan pendapat umum bukanlah penghinaan atas Islam, agama atau kitab suci. Sejak awal, teks Quran selalu ditafsirkan dengan berbagai sudut pandang oleh ulama dan sarjana Islam. Metode penafsiran Quran juga berkembang terus sesuai dengan tahap-tahap perkembangan peradaban Islam. Pada periode awal perkembangan Islam, belum kita jumpai sejumlah disiplin keilmuan yang kompleks dan bercabang-cabang seperti kita lihat pada perkembangan Islam belakangan, terutama saat peradaban Islam mencapai puncak kreativitas dan kemajuannya pada abad ke-9 hingga ke-12 Masehi. Karena itu, tafsiran atas Quran pada periode awal itu juga sangat sederhana.
Tetapi lihat apa yang terjadi belakangan, ketika ilmu-ilmu dalam Islam berkembang luas dan menjadi canggih. Pada tahap itulah, kita lihat sejumlah model tafsiran atas Quran yang makin canggih dengan pendekatan yang makin beragam. Tafsir yang begitu voluminous (berjilidi-jilid) yang ditulis oleh Fakhr al-Din al-Razi (w. 1209), berjudul Mafatih al-Ghaib (Kunci-Kunci Menuju Dunia Yang Tersembunyi) yang terdiri dari 32 jilid (edisi Dar al-Fikr, Lebanon, 1981), jelas tidak akan pernah lahir pada zaman awal Islam, zaman ketika cabang-cabang ilmu Islam belum berkembang pesat. Tafsir semacam ini lahir setelah cabang-cabang pengetahuan dalam Islam berkembang begitu jauh.
Dalam tafsir ini, al-Razi berusaha menafsirkan Quran dengan memakai seluruh pendekatan yang dihasilkan oleh ilmu-ilmu yang ada pada zamannya. Dalam tafsirnya itu, kita bertemu dengan ayat-ayat Quran yang ditafsirkan oleh al-Razi dengan pendekatan gramatikal (nahw/sharf), teori sastra (balagha), hadis, fiqh (hukum Islam), filsafat, teologi, sejarah, mistik/tasawwuf, astronomi, logika (manthiq), dsb. Tak heran, jika tafsir al-Razi tersebut begitu tebal jumlah halamannya, karena dia mencoba memobilisasi seluruh khazanah intelektual yang ada pada zamannya untuk menafsirkan Quran.
Dengan kata lain, tafsir atas Quran, juga hadis, berkembang terus sesuai dengan perkembangan ilmu yang ada dalam masyarakat Islam. Oleh karena itu, tafsiran atas Quran, termasuk tafsiran yang berbeda dengan pandangan ortodoks yang sudah mapan, tidak bisa dipandang sebagai penghinaan atas ajaran Islam.
Jika tafsir terus berkembang, apakah dengan demikian Quran bisa ditafsirkan dengan seenaknya tanpa batas? Ini adalah pertanyaan yang sering saya dengar dari banyak kalangan. Sudah tentu, Quran, sebagaimana kitab suci dalam agama manapun, tidak bisa ditafsirkan dengan “seenaknya”. Setiap tafsir tentu mempunyai batas-batasnya sendiri. Tidak ada tafsir yang bergerak bebas seenaknya, tanpa diikat oleh suatu batas tertentu. Yang menjadi masalah adalah, siapa yang menentukan batas itu, apakah batas tersebut statis atau bergerak/berubah terus, apakah batas-batas itu berkembang sesuai dengan perkembangan piranti intelektual yang ada pada umat manusia atau tidak, dst.
Sebelum dibatasi oleh yang lain-lain, setiap penafsiran, termasuk penafsiran Quran, jelas dibatasi oleh tradisinya sendiri. Quran sudah hadir dalam masyarakat Islam lebih dari 14 abad, waktu yang jelas sangat panjang sekali. Dalam rentang waktu sepanjang itu, berkembang segala corak penafsiran atas Quran yang dipengaruhi, sebagaimana saya katakan tadi, oleh sejumlah cabang-cabang pengetahuan yang ada pada zamannya. Sejarah Quran yang begitu panjang itu jelas melahirkan suatu “tradisi penafsiran” tersendiri. Sebelum diikat dan dibatasi oleh yang lain-lain, saat menafsirkan Quran, seorang penafsir jelas dibatasi oleh tradisi itu.
Jika anda ingin menjadi seorang “penafsir profesional” dan hendak menafsirkan Quran, maka sudah seharusnya anda membaca segepok tafsir yang pernah dikerjakan oleh para penafsir yang telah mendahului anda, bukan sebagai pakem yang harus diikuti secara harafiah, mentah-mentah, tetapi sebagai semacam rujukan awal, sebagai term of reference. Sama dengan seorang ilmuwan yang bekerja pada bidang manapun: dia akan diikat oleh tradisi keilmuan dalam disiplin di mana dia bekerja. Seorang fisikawan yang bekerja dalam fisika murni, misalnya, jelas tak bisa mengabaikan pekerjaan yang sudah dilakukan oleh para ilmuwan sebelumnya. Dia tak bisa mengabaikan nama-nama besar seperti Isaac Newton atau Werner Heisenberg, misalnya. Setiap ilmuwan selalu bersandar pada pundak para raksasa pengetahuan yang datang sebelumnya. Ini adalah kaidah dasa r yang berlaku dalam semua bidang pengetahuan.
Hal serupa juga terjadi pada kegiatan penafsiran Quran. Setiap kegiatan penafsiran Quran jelas dibatasi oleh tradisi penafsiran yang terbentuk selama ratusan tahun. Seorang penafsir Quran tidak bisa mengabaikan pekerjaan besar yang sudah dilakukan oleh para “raksasa tafsir” sebelumnya seperti al-Tabari, al-Qurtubi, al-Razi, dll. Mereka adalah “the giants in the history of Quranic interpretation”, raksasa-raksasa dalam sejarah penafsiran Quran. Mereka semuanya ambil bagian dalam membentuk apa yang tadi saya sebut sebagai “tradisi penafsiran”. Tradisi inilah yang pertama-tama membatasi setiap kegiatan menafsir.
Tetapi, yang tak boleh kita lupakan adalah bahwa tradisi bukanlah sesuatu yang sifatnya statis atau berhenti. Tradisi adalah entitas yang sifatnya dinamis. Tradisi juga bukan benda yang hadir ujug-ujug. Tradisi adalah sesuatu yang lahir karena ada manusia yang membentuknya. Dengan kata lain, tradisi adalah sesuatu yang dikonstruksi atau dibentuk oleh manusia. Begitu juga tradisi penafsiran Quran: ia bukanlah entitas yang lahir ujug-ujug sekali jadi, tanpa suatu sejarah. Tradisi penafsiran Quran, misalnya, dibentuk dan diciptakan oleh manusia-manusia yang selama ini bekerja dalam lapangan penafsiran. Mereka sering disebut sebagai mufassir, atau dalam bahasa Inggris disebut exegete. Masing-masing mufassir seperti menyumbangkan satu batu bata yang akhirnya membentuk rumah besar yang disebut dengan tradisi penafsiran itu.
Karena tradisi dibentuk dan diciptakan, maka ia bisa juga diubah dan karena itu juga berkembang. Dalam tradisi penafsiran Quran, misalnya, dikenal semacam syarat-syarat kompetensi tertentu untuk menafsirkan Quran, antara lain harus menguasai bahasa Arab. Syarat ini bukan syarat “suci” yang tidak bisa dibantah. Sebagian besar kalangan tentu setuju dengan syarat ini; tetapi sebagian kalangan yang lain tidak menyetujuinya. Karena Quran sudah hadir dalam bentuk terjemahan, maka akses terhadapQuran bukan menjadi monopoli mereka yang mengerti bahasa Arab saja. Mereka yang tidak setuju dengan syarat ini berpandangan bahwa Quran bukanlah kitab suci milik bangsa Arab belaka; sebaliknya ia adalah, mengutip sebuah ayat dalam Quran, “hudan li al-nas”, petunjuk bagi manusia, siapa saja, tanpa melihat asal-usul kebangsaan dan suku mereka. Pesan Quran, menurut mereka, bisa dipahami dengan bahasa apa saja, dan karena itu “wewenang menafsir” bukanlah monopoli mereka yang hanya menguasai bahasa itu. Pandangan yang menganggap bahwa wewenang menafsir hanya ada pada mereka yang menguasai bahasa Arab sama saja dengan melakukan “ethnification of the Quran”, yakni menjadikan teks Quran sebagai teks yang melekat dengan etnik tertentu. Ini hanya kasus kecil saja untuk memperlihatkan bahwa dalam tradisi penafsiran Quran itu juga kita jumpai perbedaan tentang syarat-syarat kompetensi untuk menafsir.
Masalah lain yang bisa diangkat ke permukaan, misalnya, adalah: Apakah penafsiran atas Quran hanya menjadi monopoli mereka yang secara formal menyandang gelar ulama atau kiai, yaitu mereka yang telah menjalani “academic training” atau pendidikan ilmiah di bidang ilmu-ilmu agama (al-‘ulum al-diniyyah)? Saya cenderung berpendapat bahwa penafsiran bukanlah monopoli para ulama saja, dengan asumsi bahwa ulama di sini adalah mereka yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu agama. Istilah “ulama” mungkin juga harus diperluas pengertiannya.
Ulama mestinya bukanlah hanya mereka yang ahli di bidang ilmu-ilmu keagamaan saja, tetapi mereka yang memenuhi dua unsur utama: yaitu keahlian (expertise) di bidang-bidang yang relevan dengan keahlian orang bersangkutan, plus etos yang dalam Quran disebut sebagai “khasy-yah” yang sering diterjemahkan sebagai “takut Tuhan”. Saya ingin memaknai istilah khasy-yah ini dalam pengertian yang jauh lebih mendasar: yaitu ilmuwan yang mencari kebenaran berdasarkan norma-norma yang ditentukan oleh disiplin di mana dia bekerja, bukan menundukkan disiplin itu kepada norma dari luar. “Takut Tuhan” saya maknai di sini sebagai kesadaran untuk terus mencari sumber kebenaran, sebab Tuhan, sebagaimana dalam al-asma’ al-husna (nama-nama Tuhan yang indah sebagaimana dikenal dalam tradisi Islam), disebut sebagai al-Haqq, Yang Benar, Sumber Kebenaran. Siapapun yang memenuhi dua kualifikasi ini bisa disebut seabgai seorang ulama. Gelara itu bukanlah milik mereka yang ahli di bidang ilmu-ilmu agama belaka. Ulama adalah kategori jenerik yang artinya adalah “orang yang menguasasi bidang pengetahuan”.
Ringkasnya: tradisi penafsiran memang membatasi seorang penafsir, tetapi tradisi itu sendiri bukanlah benda yang sifatnya statis; sebaliknya, dia berubah, sesuai dengan perubahan piranti pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Dengan perkembangan piranti pengetahuan yang begitu canggih seperti saat ini, sudah semestinya kegiatan penafsiran atas Quran bisa lebih maju lagi dari kondisi yang ada sekarang.
Teks Quran memang tidak bisa disamakan dengan teks-teks “sekuler” lain, seperti teks bacaan pada umumnya. Dia adalah teks yang dipercaya sebagai teks suci oleh umat Islam, dan karena itu penafsiran atas teks semacam ini selalu merupakan tindakan yang sensitif. Hal ini bukan gejala khas dalam Islam, tetapi dalam hampir semua teks suci yang lain. Ada sejumlah rambu-rambu “angker” yang sengaja dibuat oleh “penjaga teks” itu agar kegiatan penafsiran tidak secara sembarangan dikerjakan oleh siapa saja, agar penafsiran tidak membawa pandangan-pandangan yang bertentangan dengan “pandangan ortodoks” yang sudah baku. Anggapan yang saya sebut di awal tulisan ini, yaitu bahwa penafsiran atas kitab suci bisa mengarah kepada sacrilege atau penodaan atas kesucian teks, adalah bagian dari cara penjaga ortodoksi (=pandangan yang dianggap paling benar dalam sebuah agama atau sistem kepeercayaan) untuk melindungi teks suci itu. Ini adalah gejala the politics of interpretation, politik penafsiran, yang biasa terjadi dalam semua tradisi teks suci, termasuk dalam kasus Quran juga. Banyak penafsir yang dianggap melakukan tindakan infidelity atau kekafiran hanya karena melakukan studi atas Quran dan membawa kesimpulan yang tidak sepenuhnya cocok dengan para ulama, penjaga paham ortodoks. Bukankah gejala serupa juga pernah kita lihat pada zaman Orde Baru dulu, di mana penafsiran atas Pancasila hanya bisa dilakukan oleh negara atau oleh para “penafsir negara” yang sudah mendapatkan “restu politik” dari the power that be. Mereka yang secara partikulir melakukan penafsiran atas Pancasila, dan dengan cara yang “liar”, berlawanan dengan ideologi negara, maka yang bersangkutan bisa ditangkap dan dipenjarakan. Keadaan serupa, kurang lebih, kita lihat juga dalam konteks penafsiran teks suci, termasuk Quran.
Kedudukan Quran sebagai teks suci jelas tidak saya sangkal. Yang saya persoalkan adalah “politik penafsiran” yang sengaja diciptakan oleh penjaga paham ortodoks untuk melindungi “kesucian” paham tertentu agar tidak diganggu oleh penafsiran-penfsiran baru yang dianggap “menyimpang”. Sebagaimana kita mengalami demokratisasi politik saat ini, kita juga membutuhkan suatu kondisi penafsiran yang lebih demokratis lagi dalam tubuh umat Islam. Demokratisasi penafsiran bisa ditandai oleh banyak hal. Antara lain: pendekatan tafsir yang kian terbuka pada perkembangan baru dalam teori-teori penafsiran belakangan yang biasa dikenal dengan filsafat hermeneutika. Ketika saya mengatakan “terbuka” terhadap pendekatan baru dari luar, bukan berarti pendekatan baru itu harus dipraktekkan secara mentah-mentah tanpa melalui proses “aklimatisasi” atau penyesuaian dengan tradisi hermeneutik yang ada dalam Quran. Aklimatisasi dan akulturasi dengan tradisi Quran sendiri jelas sangat penting dan merupakan keharusan.
Ciri lain dalam demokratisasi penafsiran: terkikisnya kecenderungan untuk menganggap bahwa tafsir yang berbeda secara mendasar dengan tafsir ortodoks sebagai tafsir sesat. Tradisi menyesatkan tafsir yang berbeda harus digantikan dengan tradisi lain yang lebih demokratis, yaitu dialog antar penafsiran yang berbeda. Sebutan yang pas untuk tafsir yang bertentangan dengan tafsir dominan bukan “tafsir sesat” tetapi “tafsir yang berbeda”. Konsep atau etos yang perlu dikembangkan bukan ethos of deviation, sebaliknya ethos of difference. Yang perlu dikembangkan adalah cara pandang yang melihat tafsir yang tidak sama sebagai tafsir berbeda, bukan tafsir menyimpang.
Hanya dengan cara seperti inilah kita bisa mengembangkan tradisi pemikiran dan kehidupan keagamaan yang sehat di masa mendatang.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar