Selasa, 25 Agustus 2009
Bunga Wijayakusuma Salah Siji Identitas Banyumasan
Dekat sumur tua yang telah dikubur karena lonsor dan sepi air, seminggu yang lalu ada bunga indah mekar di tengah malam, paginya sudah layu dan tak wangi lagi. Dan kamera Canon saudara ipar alif telah mengabadikan beberapa frame indahnya. Katanya namanya bunga Wijayakusuma dan mitosnya, rumah yang di situ bunga tersebut bisa mekar, konon berbakat jadi orang kaya.
Nama Wijayakusuma banyak dipakai di wilayah Banyumasan dan sekitarnya, selain sudah sangat terkenal sejak dahulu kala, Wijayakusuma merupakan lambang kemenangan atau kejayaan. Panglima Besar Jenderal Soedirman (sebelum masuk militer) memberi nama koperasi yang didirikannya Persatuan Koperasi Indonesia “Wijayakusuma”, Korem 71 Purwokerto memiliki nama Wijayakusuma, di Purwokerto ada Universitas Wijayakusuma, sebuah hotel berbintang di Cilacap juga menggunakan nama Wijayakusuma, kemudian lambang Kabupaten Cilacap juga Wijayakusuma. Selain Bawor dan Kudhi, Wijayakusuma memang menjadi salah satu lambang dari wilayah Banyumasan dan sekitarnya.
Makna Wijayakusuma
Salah siji crita rakyat sekang dhaerah Banyumasan yakuwe kembang Wijayakusuma. Crita rakyat kembang Wijayakusuma kiye akeh versine, neng ngisor kiye salahsjine.
Nang crita pewayangan, kembang Wijayakusuma kuwe azimat utawa senjata ampuh Sri Bathara Kresna putra panengah Prabu Basudewa sekang kerajaan Mandura. Kresna kuwe raja sing bijaksana sekang negara Dwarawati. Kembang Wijayakusuma kuwe mung dienggo kanggo ngewangi para putra Pandawa angger agi kedesak.
Tembung Wijayakusuma dhewek kuwe jane asale sekang rong tembung, yakuwe: Wijaya artine menang, Kusuma kuwe artine kembang, dadi Wijayakusuma kuwe artine kembang kemenangan. Nang crita rakyat, Sri Bhatara Kresna sing nang donya wayang dianggep titisan Sang Hyang Wisnu, kuwe muksa (mati ngilang). Dheweke mbalangna kembang Wijayakusuma nang segara kidul utawa samudera Indonesia pedhek karo pulau Nusakambangan siki. Kembang kuwe dibalangna bareng karo kendaga utawa wadahe. Tutup kendaga sing wujude bunder kuwe njelma dadi pulo Majeti, terus wadah bagian ngisore dadi pulo Bandung. Loro pulau kuwe anane pedhek karo pulo Nusakambangan. Konon jere wong, nang pulo Bandung kuwe anane kembang Wijayakusuma.
Salah Siji Versi Mithe Wijayakusuma
Jere, dong jaman gemiyen banget nang dhaerah Jawa Timur (Kediri) ana maharaja sing nyandhang gelar Prabu Aji Pramosa. Raja kuwe nduwe watek atos, dheweke wegah tunduk maring sapa baen. Raja kuwe ora seneng angger ana wong nang nagarane sing ketone nonjol utawa duwe pengaruh. Petugas sandi (intel) kerajaan disebar ming kabeh penjuru kerajaan tur akhire jere ana laporan nek nang kerajaan kuwe pancen ana Resi sing wis kesohor merga sekti pisan. Resi kuwe jenenge Resi Kano, gelare Kyai Jamur. Kesekten Kyai Jamur akhire krungu nang kuping raja. Raja Prabu Aji Pramosa kesuh banget ning nek arep nangkap rakyat sing ora duwe salah kuwe kudu ana alesane. Akhire raja ngundang patih, hulubalang, senapati karo pejabat utama kerajaan maksude nggolet cara nggo ngatasi kyai sakti kuwe. Bar olih saran sekang petinggi kerajaan, raja langsung mutusna: Kanggo njaga keselametan kerajaan karo raja, Kyai Jamur kudu diusir sekang kerajaan utawa dipateni sisan, kaya kuwe titah sang raja.
Berita rencana raja kiye jebule cepet kesebar, akhire uga krungu neng Kyai Jamur. Dheweke mutusna sedurung utusan kerajaan teka, dheweke kudu ndisiti ninggalna negeri kiye.
Cithakan:Krungu nek Kyai Jamur wis ora ana nang panggonane, Raja Aji Pramosa tambah nesu banget. Raja kuwe trus mrentahna kabeh punggawa kerajaan ngoyok lan nangkep resi jamur.
Mendengar Kyai Jamur sudah tidak berada di tempat, sang Aji Pramosa bertambah murka. Raja pun memerintahkan para punggawa kerajaan mengejar dan menangkap sang Resi, Resi itu harus dihukum. Sekedar alasan untuk kedok, Resi dianggap bersalah karena pergi tanpa seijin raja. Sang Resi berjalan terus ke arah barat menyusuri pantai selatan sampai akhirnya tiba di suatu daerah yang disebut Cilacap, dia menganggap bahwa daerah ini cukup aman, tersembunyi dari pantauan raja. Pencarian dan pengejaran sang raja rupanya tak kenal berhenti, Resi Kano harus tertangkap. Setelah dicari ke seluruh pelosok, persembunyian Resi akhirnya dapat diketahui. Ketika sang Resi sedang bersamadi, Aji Pramosa dan punggawanya datang, kesempatan itu tidak mereka sia-siakan, sang Resi langsung ditangkap dan dibunuh. Berkat kesaktiannya, jasad sang Resi menghilang (muksa), ini membuat raja sangat terkejut takut dan keheranan. Belum hilang rasa herannya, sang raja dikejutkan lagi oleh suara gemuruh serta angin ribut dari tengah laut. Aji Pramosa berusaha tetap tenang menghadapi berbagai peristiwa yang mengerikan itu. Suara gemuruh dan anginpun reda, namun pada saat yang sama datanglah seekor naga besar mendesis-desis seolah-olah hendak melahap Aji Pramosa. Gelombang laut menjadi besar bergulung-gulung, hingga banyak penyu (kura-kura) minggir ke tepi pantai. Pantai itu dikemudian hari disebut Pantai Telur Penyu. Dengan sigapnya sang Aji Pramosa segera melepaskan anak panahnya, ternyata tepat mengenai sasaran, perut nagapun robek terkena panah dan naga hilang tergulung ombak. Rupanya naga tadi jelmaan dari seorang putri cantik yang muncul dengan tiba-tiba sambil berlarian di atas gulungan ombak dari arah timur pulau Nusakambangan. Sang putri ayu menghampiri Aji Pramosa sembari mengucapkan terima kasih karena berkat panahnya ia bisa menjelma kembali menjadi manusia. Sebagai rasa terima kasih, putri cantik tadi menghaturkan bunga Wijayakusuma kepada sang Aji Pramosa. Sang putri mengatakan “kembang Wijayakusuma tidak mungkin bisa diperoleh dari alam biasa, barang siapa memiliki kembang itu bakal menurunkan raja-raja yang berkuasa di tanah Jawa”. Selanjutnya putri cantik memperkenalkan diri, namanya Dewi Wasowati. la berpesan, kelak pulau ini akan bernama Nusa Kembangan. Nusa artinya pulau dan Kembangan artinya bunga. Seiring pergantian jaman, nama Nusa Kembangan akhirnya berubah menjadi Nusakambangan. Prabu Aji Pramosa sangat girang hatinya menerima hadiah kembang itu, kemudian dengan tergesa-gesa ia mengayuh dayungnya untuk kembali menuju daratan Cilacap, tetapi karena terlalu gugup dan kurang hati-hati, kembang itu jatuh ke laut dan hilang tergulung ombak, dengan sangat menyesal sang Aji Pramosa pulang tanpa membawa kembang. Beberapa lama setelah sang Prabu berada di kerajaan, terbetik berita bahwa di pulau karang dekat Nusakambangan tumbuh sebuah pohon aneh dan ajaib, beliau pun ingin menyaksikan pohon aneh yang tidak berbuah itu dan ternyata benar bahwa pohon itu tidak lain adalah Cangkok Wijayakusuma yang ia terima dari Dewi Wasowati. Melihat pohon itu, sang Aji Pramosa teringat akan kata-kata Dewi Wasowati bahwa siapa yang memperoleh kembang Wijayakusuma akan menurunkan raja-raja di tanah Jawa.
Wijayakusuma Kembang Raja-Raja Tanah Jawa
Peristiwa terjadinya kembang Wijayakusuma pada jaman Prabu Aji Pramosa dari Kediri itu setelah bertahun-tahun menimbulkan kepercayaan bagi raja-raja di Surakarta dan Yogyakarta. Menurut cerita, setiap ada penobatan raja baik Susuhunan di Surakarta maupun Kesultanan di Yogyakarta mengirim utusan 40 orang ke Nusakambangan untuk memetik kembang Wijayakusuma. Sebelum melakukan tugas pemetikan, para utusan itu melakukan ziarah ke makam-makam tokoh leluhur di sekitar Nusakambangan seperti pasarehan Adipati Banjaransari di Karangsuci, Adipati Wiling di Donan, Adipati Purbasari di Dhaunlumbung, Kyai Singalodra di Kebon Baru dan Panembahan Tlecer di Nusakambangan. Tempat lain yang juga diziarahi yaitu pasarehan Kyai Ageng Wanakusuma di Gilirangan dan Kyai Khasan Besari di Gumelem (Banjarnegara). Selain ziarah atau nyekar, mereka melakukan tahlilan dan sedekah kepada fakir miskin. Malam berikutnya “nepi” (bermalam) di Masjid Sela. Masjid Sela adalah sebuah gua di pulau Nusakambangan yang menyerupai Masjid. Pemetikan kembang Wijayakusuma juga dilakukan pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwono XI, yaitu saat Sunan Pakubuwono XI baru “jumenengan” (dinobatkan sebagai raja). Bahkan adat leluhur ini konon sudah dilakukan jauh sebelum itu. Menurut Babad Tanah Jawi, Adipati Anom, Sunan Amangkurat II pernah mengirim utusan untuk memetik kembang Wijayakusuma, yaitu setelah ia rnenobatkan dirinya sebagai raja Mataram menggantikan ayahandanya. Menurut seorang sejarawan Belanda H.J. de Graaf, peristiwa jumenengan tersebut dilaksanakan di Ajibarang pada tanggal 7 Juli 1677 dalam perjalanannya ke Batavia saat dikejar Trunojoyo. Menurut keterangan, cara memetik bunga Wijayakusuma tidak dengan tangan tetapi dengan cara gaib melalui samadi. Sebelumnya para utusan raja melakukan upacara “melabuh" (sedekah laut) di tengah laut dekat pulau Karang Bandung. Sebelum dipetik, pohon itu dibalut terlebih dahulu dengan cinde sampai ke atas. Dengan berpakaian serba putih utusan itu bersamadi di bawahnya, jika memang samadinya terkabul, kembang Wijayakusuma akan mekar dan mengeluarkan bau harum. Kemudian bunga itu jatuh dengan sendirinya ke dalam kendaga yang sudah dipersiapkan. Selanjutnya kembang tersebut dibawa para utusan ke Kraton untuk dihaturkan ke Sri Susuhunan / Sri Sultan. Penyerahan itu pun dilakukan dengan upacara tertentu, konon kembang itu dibuat sebagai rujak dan disantap raja yang hendak dinobatkan, dengan== Wijayakusuma Kembang Raja-Raja Tanah Jawa == Peristiwa terjadinya kembang Wijayakusuma pada jaman Prabu Aji Pramosa dari Kediri itu setelah bertahun-tahun menimbulkan kepercayaan bagi raja-raja di Surakarta dan Yogyakarta. Menurut cerita, setiap ada penobatan raja baik Susuhunan di Surakarta maupun Kesultanan di Yogyakarta mengirim utusan 40 orang ke Nusakambangan untuk memetik kembang Wijayakusuma. Sebelum melakukan tugas pemetikan, para utusan itu melakukan ziarah ke makam-makam tokoh leluhur di sekitar Nusakambangan seperti pasarehan Adipati Banjaransari di Karangsuci, Adipati Wiling di Donan, Adipati Purbasari di Dhaunlumbung, Kyai Singalodra di Kebon Baru dan Panembahan Tlecer di Nusakambangan. Tempat lain yang juga diziarahi yaitu pasarehan Kyai Ageng Wanakusuma di Gilirangan dan Kyai Khasan Besari di Gumelem (Banjarnegara). Selain ziarah atau nyekar, mereka melakukan tahlilan dan sedekah kepada fakir miskin. Malam berikutnya “nepi” (bermalam) di Masjid Sela. Masjid Sela adalah sebuah gua di pulau Nusakambangan yang menyerupai Masjid. Pemetikan kembang Wijayakusuma juga dilakukan pada masa pemerintahan Susuhunan Pakubuwono XI, yaitu saat Sunan Pakubuwono XI baru “jumenengan” (dinobatkan sebagai raja). Bahkan adat leluhur ini konon sudah dilakukan jauh sebelum itu. Menurut Babad Tanah Jawi, Adipati Anom, Sunan Amangkurat II pernah mengirim utusan untuk memetik kembang Wijayakusuma, yaitu setelah ia rnenobatkan dirinya sebagai raja Mataram menggantikan ayahandanya. Menurut seorang sejarawan Belanda H.J. de Graaf, peristiwa jumenengan tersebut dilaksanakan di Ajibarang pada tanggal 7 Juli 1677 dalam perjalanannya ke Batavia saat dikejar Trunojoyo. Menurut keterangan, cara memetik bunga Wijayakusuma tidak dengan tangan tetapi dengan cara gaib melalui samadi. Sebelumnya para utusan raja melakukan upacara “melabuh" (sedekah laut) di tengah laut dekat pulau Karang Bandung. Sebelum dipetik, pohon itu dibalut terlebih dahulu dengan cinde sampai ke atas. Dengan berpakaian serba putih utusan itu bersamadi di bawahnya, jika memang samadinya terkabul, kembang Wijayakusuma akan mekar dan mengeluarkan bau harum. Kemudian bunga itu jatuh dengan sendirinya ke dalam kendaga yang sudah dipersiapkan. Selanjutnya kembang tersebut dibawa para utusan ke Kraton untuk dihaturkan ke Sri Susuhunan / Sri Sultan. Penyerahan itu pun dilakukan dengan upacara tertentu, konon kembang itu dibuat sebagai rujak dan disantap raja yang hendak dinobatkan, dengan demikian raja dianggap syah dan dapat mewariskan tahta kerajaan kepada anak cucu serta keturunannya. Mithe tentang kembang Wijayakusuma ini sangat berpengaruh pada kehidupan nelayan di pantai selatan. Ada sejenis ikan yang mereka keramatkan yaitu ikan Dawah (dawah artinya jatuh). Ikan ini dianggap jelmaan dari daun pohon Wijayakusuma yang berjatuhan di laut. Para nelayan itu sangat berpantang memakan ikan Dawah, mereka takut mendapat bencana atau malapetaka. Umumnya mereka menolak rezeki Tuhan yang satu ini padahal dagingnya empuk dan rasanya lezat. Pengaruh Mithe ini juga melahirkan upacara budaya sedekah laut yang dilaksanakan setiap bulan Sura, mereka melarung rezekinya ke laut pantai selatan demikian raja dianggap syah dan dapat mewariskan tahta kerajaan kepada anak cucu serta keturunannya. Mithe tentang kembang Wijayakusuma ini sangat berpengaruh pada kehidupan nelayan di pantai selatan. Ada sejenis ikan yang mereka keramatkan yaitu ikan Dawah (dawah artinya jatuh). Ikan ini dianggap jelmaan dari daun pohon Wijayakusuma yang berjatuhan di laut. Para nelayan itu sangat berpantang memakan ikan Dawah, mereka takut mendapat bencana atau malapetaka. Umumnya mereka menolak rezeki Tuhan yang satu ini padahal dagingnya empuk dan rasanya lezat. Pengaruh Mithe ini juga melahirkan upacara budaya sedekah laut yang dilaksanakan setiap bulan Sura, mereka melarung rezekinya ke laut pantai selatan. (wikipedia)
.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar